Bapak : "Ade, duduk sini. Hayo dibaca bukunya. Jangan ganggu yang disebelah. Hayo, dibacanya apa?"
Anak : (Sang anak pun membaca tulisan di puji syukur.)
Mungkin Anda tidak melihat ada yang aneh apabila hanya melihat penggalan di atas. Namun bagaimana kalau saya beritahukan kepada Anda kalau anak kecil tersebut memiliki kecacatan pada keseimbangannya? Bagaimana kalau saya beritahukan kepada Anda bahwa sang ayah harus merangkul pinggangnya sepanjang misa agar sang anak tidak 'oleng' ke kanan atau ke kiri. Atau terkadang sang ayah harus memangku dan menahan tubuh sang anak dan sesekali mengalihkan perhatian sang anak.
Ya, anak tersebut duduk tepat di sebelah saya. Tidak jarang kakinya menendang saya. Tidak jarang dia berhenti membaca karena sadar saya sedang memperhatikan dia. Usianya mungkin 7-8 tahun. Rambutnya tebal, mengenakan pakaian berwarna pink lengkap dengan pita tersangkut di belahan tengah rambutnya. kulitnya putih. Suaranya lantang lengkap dengan ejaan yang disempurnakan.
Tidak jarang saya mendengar sang istri mengeluh kepada suaminya untuk mengambilkan bangku yang memiliki sandaran agar sang anak bisa senderan, namun karena kebaktian sudah mau dimulai, agak susah mencari kursi karena hampir semua kursi sudah penuh. Ketika di tengah misa pun sang ibu mengajak anaknya untuk ke toilet. Itupun butuh perjuangan berat, karena sang anak menolak. Setelah beberapa saat membujuk dan membisikkan sesuatu ke telinga sang anak, barulah sang anak itu menyetujui ajakan ibunya. Itupun sang ibu dengan susah payah memapah tangan sang anak, menjaga agar sang anak tidak terjatuh karena kecacatan yang ada pada keseimbangannya.
Yang saya lakukan hanya mendengar, memperhatikan dan mengecap semua ke dalam benak saya bahwa menjadi orang tua tidaklah mudah. Lebih mudah mempersiapkan diri menjadi orang tua ketimbang menjadi orang tua secara real. Saya hanya bisa berdoa agar orang tua dari anak tersebut diberikan kesabaran. Berdoa agar sang anak diberikan kesembuhan dan berbakti kepada orang tuanya. Berdoa agar kemurahan hati Tuhan turun atas keluarga tersebut. Berdoa agar apapun kekurangan yang ada pada mereka, dapat berbalik menjadi kelebihan yang dapat membantu orang lain.
Ketika saya melihat kepada salib Yesus yang ditutupi kain berwarna ungu dan dengan anak tersebut disamping saya, lucunya, saya menitikkan air mata. Sedih karena ada orang lain yang harus mendapatkan kecacatan fisik. Sekaligus bersyukur tidak ada satupun kekurangan dalam diri saya. Betapa Tuhan menciptakan saya sempurna. Ketika saya mencium patung Yesus sebagai tanda penghormatan, betapa saya sadar, saya berada di dalam naungan Tuhan. Saya adalah hambaNya. Saya adalah milikNya.
Bapa kita di surga menjaga kita meskipun kita juga 'cacat' karena dosa dengan segenap kekuatanNya agar kita tidak jatuh. Agar kita tidak oleng ke kanan dan ke kiri. Dia juga mengalihkan perhatian kita agar kita hanya terfokus kepada suaraNya. Dan tidaklah mudah untuk Bapa kita di surga menjaga kita, anak-anakNya yang cenderung ingin 'bergerak-bebas' kesana kemari tanpa adanya penjagaan.
Ketika saya berdiri untuk menerima berkat dari pemimpin misa, tidak sengaja saya menginjak kaki sang anak, dan dia mengaduh pelan "Duh" dan saya pun kikuk, namun saat saya melihat wajahnya, dia hanya tersenyum malu dan cepat-cepat membaca lagi buku yang sedang dipegangnya. Jumat Agung. Betapa saya menyadari hal yang sepele terasa sangat besar kalau saja kita mau memperhatikan dan membuka hati kita.
amen bro, wonderful insight! :)
ReplyDelete