Wanita : Kalau cuma mau makan sosis, buat apa pelihara sapinya?
Plato, filsuf Yunani yang terkenal pernah berkata bahwa pada awalnya, manusia diciptakan dalam satu wujud yang memiliki dua wajah yang membelakangi, punggungnya menempel satu sama lain, memiliki empat tangan dan empat kaki, serta memiliki dua kelamin. Jadi, ya, seperti kembar siam namun berbeda kelamin. Hasilnya? Makhluk bernama manusia ini bisa bekerja lebih keras, lebih cepat dan bisa beranak cucu tanpa perlu melakukan hubungan seksual.
Para dewa akhirnya cemburu berat pada makhluk manusia ini. Zeus, rajanya para dewa, mendengar keluh kesah para dewa dan memaklumi kecemburuan mereka. Akhirnya Pak Zeus mengambil tindakan dengan membelah manusia dengan cambuk saktinya tepat di punggung manusia. Ctar! Maka, terpisahlah manusia menjadi dua jenis, yakni Pria dan Wanita.
Sukses? Nanti dulu! Timbul persoalan baru yang bikin Pak Zeus pusing kepala. Karena manusia sudah terpisah dan berdiri sendiri sebagai makhluk yang berbeda jenis, manusia hanya memiliki separuh kekuatan dari kekuatan sebelumnya. Maka, untuk mengembalikan kekuatan mereka, Zeus menyatakan bahwa pria dan wanita harus berpelukan sehingga manusia yang tadinya memiliki kekuatan "hanya separuh" bisa menyatu dan kembali berdigdaya. Hal itu berlangsung terus menerus hingga sekarang. Pria dan wanita masing-masing mencari separuh dirinya yang hilang untuk bersatu padu. Peristiwa penyatuan inilah yang disebut manusia dengan Pernikahan.
Interest in : Dating & Serious RelationshipMengingat omongan Mbah Plato, banyak orang ingin mencari separuh diri mereka yang hilang itu, alias ingin menikah. Coba tanyakan kepada diri Anda, atau kepada setiap wanita yang Anda jumpai. Bohong kalau para wanita (normal) ini mengaku belum pernah membayangkan dirinya memakai gaun pengantin. Wong, anak balita saja sudah minta dibelikan boneka Barbie dan Ken, yang akan mereka "nikahkan" di depan sesama bocah seumuran,
kok.Wanita dan pria manapun, pasti pernah -meski hanya satu kali dalam hidupnya- diperkenalkan pada ide tentang pernikahan oleh orang tua ataupun lingkungannya. Buktinya apa, Tre? Buktinya adalah para ibu-ibu mengajarkan anak perempuannya untuk menjaga keperawanannya untuk dipersembahkan kepada suaminya kelak. Dan para ayah-ayah mengajarkan anak laki-lakinya untuk mencari bisa sekolah yang tinggi agar bisa mencari nafkah untuk masa depannya kelak. Ini adalah ide dasar dari pernikahan bahwa masing-masing pihak, baik wanita dan pria harus memiliki 'modal'.
Banyak orang bertanya kepada saya pertanyaan yang menurut saya hanyalah pertanyaan basa-basi dan retorika semata, yakni "Kapan merit, Tre?" Ya, ampun. Sampai bosan saya mendengar pertanyaan ini. Saya tidak kesal atau marah atau anti terhadap pertanyaan ini. Saya hanya bosan. Kenapa saya sebut basa-basi, karena terkadang saya pun menanyakan hal yang sama kepada teman-teman saya sebagai kalimat pembuka setelah beberapa saat tidak bertemu dengan mereka. Kalau dipikir-pikir, tidak ada untungnya juga menanyakan dan menjawab hal tersebut. Tidak ada untungnya untuk Anda menanyakan pertanyaan itu ke saya, dan tidak ada untungnya untuk saya menjawab kapan saya menikah untuk Anda, bukan?
Saat kumpul-kumpul reuni apalagi ... Beuh! Ini adalah momen 'pembantaian' untuk para
jombloers karena pertanyaan 'Kapan merit?' paling sering dilontarkan. Umumnya jawaban yang saya terima dan saya lontarkan adalah "Kawin sih sering, nikahnya aja yang belum." Dan jawaban ini berlanjut ke pertanyaan berikutnya, "Ya udah, kapan dong nikahnya." Jawaban saya berikutnya, "Belum ada calon nih, Cariin dong!" Dan buset, jawaban ini pun berakhir dengan penghakiman "Ah, lo sih kebanyakan milih! Ntar kalo gw kenalin, bukan tipe lo." Masaolo.
Dan untuk yang sudah menikah, mereka akan sibuk menceritakan keadaan rumah tangganya yang begini-begitu. Heboh, deh. Biasanya, akan ada embel-embel "Elo sih enak, belum nikah. Bebas kemana-mana, mau pulang jam berapa, mau jalan sama siapa, masih bebas. Nah, gue? Boro-boro dugem atau party. Mau ketemu sore begini aja susah. Harus pulang sebelum anak-anak gw tidur." Nah, biasanya ini adalah momen dimana kami-kami yang single membalas mereka yang sudah menikah dengan melontarkan jawaban, "Siapa suruh nikah? Nyesel, kan?!"
Untuk saya pribadi, menikah - tidak menikah - cerai - nikah lagi - pendekatan - selingkuh, semua sama ribetnya. Pernahkah Anda sadar bahwa urusan tetek bengek
relationship ini sebetulnya adalah topik yang paling sering kita gembar-gemborkan? Relationship itu sangat memusingkan, sebenarnya. Saking ribetnya, saya pernah berkontemplasi tidak habis pikir mencari jawaban, "Apa sih enaknya nikah?" (Diluar kawinnya, tentu)
Teman saya, setelah berpuluh-puluh tahun bersusah payah menjaga keperawanannya agar tidak bolong di tengah jalan,
eh, harus menghadapi bahwa 'segel' bernama keperawanan itu harus dipersembahkan untuk suami di malam pengantin! Jadilah dia kerepotan ketika pacarnya minta 'jatah' untuk menuntaskan birahinya.
Belum lagi kalau teman saya yang lain mau mengerok alis hingga tinggal segaris diledekin "Ah, elo pake kerok alis lagi. Ntar aja kerok alisnya pas udah mau merit."
Belum lagi kalau teman saya yang wanita berencana beli rumah, teman-teman ngerumpinya langsung nyemut dengan nasihat "Keenakan suami lo dong ntarnya, dapat istri yang sudah punya rumah sendiri." Lah?
Itu baru cerita dari pihak yang cewek, teman saya yang cowok sudah memiliki jabatan cukup tinggi diperusahaan tempat dia bekerja, juga pusing dengan masalah pernikahan. Dia pernah curhat ke saya, "Tre, tolonglah kau bantu beta cari pasangan. Beta sudah pusing ini. Ayah beta tidak bangga sama sekali dengan jabatan beta di kantor. Ayah beta juga tidak bangga dengan kemapanan beta. Dia baru bangga kalau beta datang kepadanya sambil membawa calon istri." Jawaban saya? "Beta tak tahu!" (lengking di akhiran, jangan lupa) ... Ya ampun, masih ada yang begitu ya?
Ada lagi teman saya yang cowok lainnya yang saking stress sampai ketombenya jadi banyak banget karena ditanya "Kapan merit?" oleh orang tuanya yang akhirnya menempuh berbagai cara mulai dari aktif di Facebook, Tagged, Hi5, Flixter, dan aneka ajang cari jodoh lewat dunia maya lainnya. Rasanya seperti membeli karung dalam kucing, eh, kucing dalam karung. Yang mana parahnya, karungnya itu kedap suara, antibau, bahkan tak terdeteksi pada saat lewat di gerbang metal detector mal alias nekat menjadi risk-taker untuk hal yang buta-gulita (lebih daripada sekadar gelap-gulita).
Sialnya, dia membawa semua wanita yang dikenalnya lewat online itu kepada saya terlebih dahulu sebelum ke orang tuanya, hasilnya? Ya ampun. Saya sampai tepok jidat melihat calon-calonnya. Akhirnya saya berpikir, jangan-jangan manusia itu sudah terpatri dan jatuh cinta dengan ide tentang pernikahan, sehingga tidak jadi soal mau nikah sama siapa, yang penting nikah! Seolah pernikahan itu adalah tujuan akhir dari hidup manusia.
Dari pengalaman teman-teman saya yang sudah menikah, saya melihat bahwa pernikahan itu sangat-sangat-sangat merepotkan, apalagi kalau yang menikah adalah orang-orang terdekat kita, seperti adik, kakak, sepupu. Waktu kakak saya menikah, sepertinya yang repot bukan dia, tetapi saya, orang tua, dan sepupu. Saya disuruh datang ke beberapa pameran
wedding untuk mengambil brosur, flyer diskon tentang katering dan juga dekorasi (sampai kenyang saya menyobai catering seharian penuh yang akibatnya semua sepertinya rasanya sama saja di lidah saya). Mama saya sibuk kesana kemari meminta informasi dan harga undangan. Sepupu saya sibuk mencari bridesmaid dan lain sebagainya? Sedangkan kakak saya, enak-enakan pergi ke mal nonton bioskop, tuh. Grrr....
Yes I do, But in fact ...Mengapa saya belum menikah? Atau mengapa saya belum menikah (lagi) untuk mereka yang janda / duda adalah pertanyaan yang harus ditanyakan kepada diri kita masing-masing. Bukan berarti saya tidak laku loh! Setelah ribuan kali pacaran dan jutaan kali dikhianati (loh?) saya mau pada saat saya menikah nantinya, saya ingin saya yakin bahwa saya sudah mengenal dengan baik dan dekat karakter pasangan saya nantinya. Semoga nantinya saya memilih orang yang best of the best untuk pasangan saya.
Persoalan kenapa saya belum menikah atau belum terpikir untuk menikah sebenarnya bukan karena saya tidak mengerti pasangan saya, tetapi karena justru saya tidak memahami diri saya sendiri. Bayangkan, begitu banyak manusia di dunia ini. (Tujuh milyar manusia dari informasi terakhir?). Bagaimana saya bisa yakin bahwa dia adalah yang tepat dan terbaik untuk saya? Anda tentu tahu pepatah diatas awan ada awan, bukan? Berarti kalau Anda seorang wanita yang mengidamkan seorang pria yang mapan bernama A, akan ada pria bernama B yang lebih mapan jauh daripada si A. Dan kalau Anda seorang pria yang mengidamkan seorang wanita berpayudara besar bernama X, maka akan ada wanita lainnya bernama Y yang payudaranya lebih besar daripada si X. Jadi, piye? Jawabannya adalah semua itu pilihan. Anda menikahi pasangan yang Anda telah pilih dan mereka juga memilih untuk mau memilih Anda sebagai pasangan Anda.
Apakah Anda setuju kalau saya mengatakan bahwa pernikahan itu sebuah misteri? Pernikahan ternyata bukan berarti bersetubuh setiap malam (hingga pagi buta) dengan segala posisi dan gaya, bukan berarti bergantian bangun untuk mengganti popok bayi, bukan untuk sekedar saling curhat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Sebaliknya, pernikahan justru membuka peluang yang sangat besar untuk membuka borok dan kambing hitam atas setiap masalah yang datang. Mulai dari tagihan kartu kredit yang mestinya mudah diatasi, kerap berbuntut dengan pertanyaan, "Buat apa sih Papa beli Blackberry lagi, padahal yang kemarin saja belum rusak." Lalu suami balik bertanya "Ini, kamu buat apa beli sepatu lagi, sepatu lagi? Memang kamu gurita, kakinya banyak?"
Itu baru masalah kartu kredit. Belum kalau mertua sakit, tabungan untuk sekolah anak, ipar atau keluarga sedang liburan dirumah atau masalah yang remeh sekalipun. Misalnya teman saya pernah bertengkar hebat dengan suaminya karena saking tinggi birahi si suaminya, uang pengeluaran untuk beli kondom mengalahkan duit beli rokok si istri. Terdengar konyol, bukan? tapi itu kenyataannya. Anda tersenyum? Nah, tunggu kalau Anda sudah menikah nanti. Hal remeh lainnya misalnya, pasangan harus keluar kota dan terpaksa meninggalkan keluarga selama beberapa hari. Kalau hanya beberapa kali dalam setahun, mungkin tidak akan masalah. Tapi bagaimana kalau deadline setiap minggu karena misalnya istri bekerja di media cetak? Boro-boro menemani undangan ke pesta. Pulang saja telat melulu!
Bumbu-bumbu penyedap! Masak kaleee..Saat belum menikah, perbedaan yang ada dari dua individu yang sudah dibelah oleh Pak Zeus berlainan jenis ini dianggap bumbu. Saat pacaran, kita masih bisa bilang "Kita jalani dulu, sayang. Berpikirlah positif. Toh kalau ada ribut-ribut sedikit, itu kan bumbu pernikahan. Setelah cekcok, tiap pasangan pasti jadi lebih mesra." Faktanya, apa yang terjadi setelah menikah? Kemana larinya bumbu-bumbu penyedap tadi? Yang ada, dada terasa lebih tipis karena seringnya dielus akibat menahan sabar. Mari kita hadapi kenyataan pertama bahwa pernikahan bukanlah jaminan kebahagiaan.
Itu baru soal bumbu, belom soal main dish, alias cinta. Umumnya, kalau pernikahan sudah melewati tahun kelima, kalimat yang terucap, "Saya dan istri sudah seperti kakak-adik." Waduh? Insest dong? Kemana perginya bumbu-bumbu itu? Kemana hilangnya rasa serr...serrr yang dulu pernah dialami saat pertama kali tangan pasangan menyentuh bokong kita? Ngumpet kemana itu bumbu penyedap bernama gairah berdandan ketika kita tahu pasangan sedang on the way menjemput kita untuk kencan? Kabur kemana itu birahi yang menggebu-gebu ketika pasangan sedang berada di sebelah kita? Jika diawal pernikahan, kita menanti pasangan pulang cepat, lain lagi kalau usia pernikahan sudah berada diatas sepuluh tahun. Yang ada, "Jumat malam besok, ngapain lo? Ada acara gak? Pasangan gw lagi pergi nih, dugem yok!"
Saya sendiri sering sekali menemukan pasangan-pasangan suami-istri yang duduknya berhadap-hadapan satu sama lain di kursi Starbucks, sibuk sendiri-sendiri dengan majalah atau Blackberrynya. Tidak mengobrol satu sama lain, hanya berbincang seadanya. Hebatnya, mereka melakukan itu bisa hampir tiga jam. Bandingkan dengan abege-abege yang masih pacaran yang posisi duduknya kalau bisa mepeeeet-mepeeeet. Ternyata kalau dipikir-pikir, disitulah mungkin letak jawaban atas kebingungan saya. Pernikahan identik dengan komitmen, padahal hakikat manusia adalah identik dengan selalu berubah, cepat bosan, tidak mau sama, selalu mau yang baru. Jadi, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi sebuah pernikahan, atau saat kita sudah berada di dalam pernikahan? Sialnya, Anda harus menjalani komitmen Anda untuk dapat tetap bertahan dalam setiap perubahan yang terjadi.
Benar bahwa saya belum menikah. Namun saya yakin, saat janji pernikahan terucap, tentu keadaan saat mengucap janji itu berbeda keadaannya dengan keadaan 5-10 tahun atau 20 tahun ke depan. Untuk wanita yang sedang membaca blog ini, sudah dapat dipastikan bahwa kulit Anda sudah pasti mengendur dan 'keriting' karena termakan usia. Sialnya, banyak sekali wanita-wanita segar diluar sana. Dan sialnya lagi, stok wanita-wanita muda yang segar dapat dengan mudah ditemui di luar sana seiring dengan semakin matang dan mantapnya keadaan pasangan Anda dari segi finansial, sehingga dapat terjadi kemungkinan besar para suami bisa memilih kemudahan dan kenikmatan di luar rumah.
Contohnya adalah beberapa tahun lalu saat saya menerima undangan dari klub X dan Y. Para tamu yang saya temui sebagian besar adalah pria yang sudah bertampang bapak-bapak alias sudah menikah dan pendamping mereka adalah wanita-wanita muda yang umurnya bisa jadi setengah dari umur mereka. Saya bertanya dalam hati, kira-kira ada berapa pasangan suami-istri yang datanag ke acara ini? Karena penasaran, saya bertanya ke teman saya yang memang Public Relation di acara itu. Jawabannya mencengangkan. Hanya sekitar 5-10 orang yang datang membawa istrinya dari sekitar jumlah 50-75 pasang tamu. Sisanya adalah gadis-gadis muda selingkuhan yang dijemput oleh si oom di apartemen, atau ketemuan di tempat acara setelah gadis-gadis muda itu dijemput oleh sang supir.
Lalu, kemana larinya si istri berkulit 'keriting' tadi? Jawabannya gampang. Mereka pergi ke acara atau klub lain bersama teman-teman wanita mereka juga untuk berbelanja untuk mengobati rasa sedih dan kesepian, atau janjian suntik botox atau mesotherapy bareng teman-teman. Yoga? Oh ya, betul, ada juga yang memilih yoga untuk menenangkan batin. Pilihan terparah? Ya, tinggal cari daun muda alias brondong yang sanggup mencumbu wanita-wanita berkulit 'keriting' ini semalaman penuh secara wild, fresh ASAL ada 1.5 - 2.5 juta rupiah yang siap diselipkan ke kolor brondong-brondong muda ini. "Daripada pakai vibrator, tidak bisa mendesah-desah dan "membanting-banting" kita ...," Batin para wanita kesepian itu. Kenapa banyak wanita tutup mata soal ini? Karena mereka berpikir "Terserah lah, suami gua mau ngapain, yang penting gw tetep dapet duit. Botolnya mau kemana, terserah lah, yang penting isinya pulang." Kenyataan kedua yang harus kita terima adalah pernikahan bukan obat kesepian!
How can I tell her ... About him? (or her)Maksudnya? Para suami (diam-diam) menjalin kisah asmara dengan PIL (pria idaman lain). Waduh! Ini memang sangat teramat tidak wajar, tetapi ini sudah menjadi fenomena baru yang melanda kehidupan rumah tangga disekitar kita. Sakit jiwa? Mungkin. Saya sendiri tidak bisa habis pikir kenapa bisa ada seorang istri yang menjalin kisah asmara dengan wanita lain atau para pria menjalin asmara dengan pria lain. Halo, Pak Zeus? Bagaimana ini?
Saya tidak akan membahas hal percintaan sejenis ini dari segi agama karena saya yakin, agama manapun akan melarang ini dan juga saya bukan ahli agama. Hanya saja, bayangkan ini, kita saja sudah keki setengah mati kalau pasangan kita menggoda lawan jenis. Nah ini, mereka menjalin hubungan spesial dengan sesama jenis. (tepok jidat Anda) Apakah kewanitaan wanita sudah tidak lagi mengundang selera untuk para gay-ers? Apakah payudara wanita, kehalusan tubuh wanita sudah tidak lagi mengundang selera Anda, para Gayers? Dan juga, apakah badan-badan six pack dan muka macho pria tidak lagi mengundang birahi Anda, para lesbianers? Atau sebaliknya, karena Anda tidak rela menyakiti hati pasangan Anda dengan berselingkuh lawan jenis, Anda berpaling untuk berselingkuh dengan sesama jenis?
Saya bertanya mengenai hal ini kepada beberapa teman wanita saya. Sebagian besar menjawab "Amit-amit!" Namun sebagian lagi menjawab "Tutup mata aja deh. Toh yang penting dia tidak membagi hatinya untuk wanita lain. Dan lagipula, kalau selingkuhnya sama lelaki yang biseks juga, enak dong. Bisa threesum." Jah!
Saya tidak bisa membayangkan memiliki pasangan yang mencintai sesama jenis (Amit-amit), Jelas mengetahui pasangan kita mencintai sesama jenis akan membuat harga diri kita terinjak-injak. Penyimpangan seksual ini saya yakin tidak terjadi secara alamiah begitu saja, bohong kalau Anda mengatakan gen homo/lesbian ini ada dari DNA kita. Saya rasa Tuhan kita tidak sebodoh itu untuk menciptakan ciptaannya menjadi sesama jenis dan ingat, bahwa tidak ada bayi yang lahir langsung menjadi homo/lesbi. Pasti ada masalah psikologis atau gangguan kejiwaan yang terjadi karena lingkungan dan pengaruh yang rusak. Seseorang yang melakukan penyimpangan ini, kemungkinannnya ada dua.
Pertama, seseorang mengalami kelainan ini karena trauma masa lalu, misalnya dia pernah menjadi korban sodomi sehingga dia menjadi pelahap sesama jenis. Dalam kasus yang berskala ekstrim, dia ingin "membalas dendam" kepada oranag lain atas apa yang dia telah lalui. Oleh karena itu seringkali kelainan seksual ini dianggap sebagai penyakit menular, yaitu saat seseorang menjadi korban pelecehan seksual ini berupaya untuk 'meneruskannya' kepada orang lain.
Kedua, kelainan seksual ini terjadi karena kebosanan terhadap lawan jenis sehingga mereka ingin bereksperimen dengan sesama jenis. Kenapa? Karena seperti yang saya tulis diatas, hakikat manusia adalah terus berubah, cepat bosan, dan ingin sesuatu yang baru. Jadi pemikiran untuk melakukan hubungan iseng-iseng dengan sesama jenis seakan menjadi alternatif pilihan pengusir kebosanan. Cukup gila memang kedengarannya, namun hal tersebut adalah fakta dan terjadi. Seorang teman saya tidak menutupi bahwa dia adalah seorang lesbian. Saya pernah menanyakan kepadanya bagaimana awal mula dia menjadi lesbian. Ceritanya dimulai saat awal SMA dia menginap dirumah temannya dan seperti biasa dia membuka baju dihadapan temannya yang juga mengganti baju setelah mandi. Mereka saling mengamati tubuh masing-masing dan awalnya saling becanda mengomentari tubuh masing-masing yang akhirnya mereka berdua penasaran dan saling meraba Ms.V masing-masing dan berakhir dengan melakukan oral seks secara bergantian. Dari situ dia merasakan 'sensasi' lebih ketika dipegang, disentuh, diraba dan dicumbu oleh perempuan dibanding oleh lelaki. Teman saya pun merasa agak jijik melihat tubuh lelaki yang ditumbuhi bulu, jambang dan jenggot. Menurutnya, hal yang terseksi dimatanya adalah tubuh wanita, bukan tubuh lelaki.
Ini bukan tentang hari H, tetapi setelah hari H.Saya melihat banyak sekali pasangan yang sedang pacaran lebih sibuk mempersiapkan hari H ketimbang persiapan menjalani setelah hari H. Mereka disibukkan dengan persiapan gaun pengantin, dekorasi, katering, dekor, lokasi, undangan dan lainnya. Tidak salah memang, tetapi mereka lupa bahwa semewah-mewahnya pernikahan Anda di hari H, tidak akan menjamin kehidupan pernikahannya akan mewah juga. Segila-gilanya, semewah-mewahnya hari H pernikahan Anda, kehidupan pernikahan Anda bisa berakhir esoknya. Saya melihat banyak wanita yang "memaksakan" diri untuk menikah karena lantaran umurnya sudah mau mendekati kadaluarsa walaupun sebenarnya dia tidak sreg-sreg amat dengan si pria. Begitupun juga dengan pria, kebelet menikah karena tidak tahan menyandang status jomblo sehingga berasa "ditinggalkan" oleh teman-teman seumurannya karena belum menikah.
Belum lagi masalah orang tua yang terus merongrong untuk cepat momongan. Padahal untuk menikah, hari H bukanlah yang terpenting. Kata orang Jawa, yang terpenting adalah bibit, bebet, bobotnya. Bagaimana karakter pasangan Anda? Bisakah dia menerima Anda disaat Anda susah dan maukah dia melewatinya bersama. Sudahkah Anda mengetahui dan bisa menerima kekurangan Anda? Ingat bahwa lebih mudah menerima kelebihan seseorang daripada menerima kekurangan seseorang. Mantan rekan kerja saya di kantor lama akhirnya harus bercerai dengan istrinya karena menurut istrinya, teman saya tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan utama istrinya, yakni uang belanja tersiernya seperti baju, sepatu, make up dan lainnya setiap bulannya. Bagaimana bisa, wong teman saya hanya seorang karyawan biasa yang masih harus membayar cicilan apartemen dan juga mobil, kok. Terlepas dari itu, teman saya tidak menyesali keputusannya untuk bercerai, yang disesalinya hanyalah kenapa sedari awal tidak menyadari dan mengantisipasi betapa "mahalnya" kebutuhan mantan istrinya.
Its not about the money, but the character!Saya sendiri pun pernah merasakan betapa menakutkannya wanita sekarang-sekarang ini yang cenderung menilai seseorang dari materi. Saya pernah dikenalkan oleh teman saya kepada seorang wanita beberapa tahun lalu, ketika kami bertemu dan berbincang-bincang dan teman saya pergi ke toilet saya meninggalkan saya dan dia, pertanyaan pertama yang dia ajukan adalah "Tre, lo bawa mobil apa?" Buset. Di detik itu saya ill-feel setengah mati kepada wanita itu. Saat saya menanyakan kenapa jawaban dari pertanyaan itu sebegitu pentingnya untuk dia, dia menjelaskan bahwa kekayaan menjadi faktor yang sangat krusial di matanya. Saya sama sekali tidak setuju. Teman saya yang memiliki banyak usaha, hanya membawa Avanza kok meskipun dia mampu membeli Alphard atau mobil mewah lainnya. Saya tidak mendiskreditkan seluruh wanita, karena saya yakin tidak semua wanita seperti itu. Hanya saja di masa-masa sekarang, wanita identik dengan uang dan pria identik dengan birahi.
Beberapa hari lalu, saya sempat berbincang dengan teman saya bernama Anita lewat BBM soal masalah relationship yang ujungnya membicarakan soal pernikahan. Dia berbicara bahwa pada akhirnya, wanita-wanita yang menikah adalah mereka yang memiliki nilai / value lebih dari segi karakter di mata pria dan begitu juga sebaliknya. Dia bercerita teman-temannya yang sewaktu kuliah bisa dibilang sombong karena merasa paling cantik, paling seksi justru adalah orang-orang yang belum menikah hingga sekarang. Kok bisa? Karena di mata pria, wanita cantik ini tidak memiliki nilai lebih selain hanya "penghambur uang semata" sehingga para pria akan berpikir dua-tiga kali untuk menikahi wanita-wanita seperti ini. Para pria justru ketakutan dengan wanita-wanita tipe ini. Untuk apa menikahi seorang yang hanya menghamburkan uang hasil kerja keras mereka? Rasanya seperti menyimpan duri dalam daging. Akhirnya, mereka yang menikah adalah mereka yang memiliki value atau karakter yang jauh lebih baik walaupun mereka tampil 'biasa-biasa saja'. Seperti yang kita tahu, sebrengsek-brengseknya orang, mereka akan memilih orang yang lebih baik daripada dirinya sebagai pasangan hidup,bukan?
Sebaliknya, teman-teman saya lainnya yang wanita juga cenderung takut apabila dikenalkan kepada cowok karena cowok identik dengan birahi, sehingga seakan-akan hanya tubuh dan seks sajalah yang ingin dinikmati oleh cowok-cowok sekarang. Jadi, pertanyaan mereka biasanya sebelum dikenalkan adalah "Dia terakhir putus sama mantannya, kenapa tre?" Wanita-wanita ini menghindari tipikal pria player/suka selingkuh.
Belum lagi, cowok-cowok sekarang cenderung suka pamer. Mulai dari pamer gaya, pamer kekayaan, pamer kemewahan padahal saya temui kekayaan dan kemewahan yang dimilikinya adalah milik orang tuanya. Saya pernah melihat seorang pria berjaket kulit, mengenakan kacamata RayBan memaki pacarnya dengan sebutan goblok dan tolol hanya karena pacarnya telat memasuki lift karena sedang mencari sesuatu di tas clutchnya di Grand Indonesia. Dan dia tidak merasa malu saat memaki pasangannya di dalam lift, malah dia berasa lebih jantan saat memakinya. Sayang Anda tidak bisa melihat gaya dan tampang cowok tersebut, karena gayanya benar-benar seakan-akan dia adalah cowok terkeren sedunia dan sejantan sedunia. Untuk saya, cowok itu tidak jantan tapi banci dan tidak ada keren-kerennya. Ingin rasanya saya menarik keluar lidah cowok sok keren itu dan menamparnya tepat di pipinya, sayang saya pendek, jadi saya cukup capai untuk jinjit menampar cowok itu.
Kalau kita ibaratkan pernikahan sama seperti membeli produk, kebanyakan orang menikah karena terpesona dengan kemewahan fitur yang ada bersama dengan produk tersebut tanpa pernah mau mengecek apakah barang tersebut bergaransi atau tidak. Loh kok garansi? Karena pernikahan seharusnya hanyalah sekali seumur hidup. Barang yang sudah Anda beli tidak dapat ditukar atau dikembalikan. Jadi, menikah memang tidak mudah. Terkadang kita siap menikah untuk menjalani awalnya saja, tetapi kita tidak siap saat kita mengetahui perjalanan pernikahan kita dapat membawa kita kepada ending yang berbeda. Meraih gelar status 'menikah' saja tidak cukup, karena kita harus terus beradaptasi, meningkatkan kualitas, dan sanggup bersaing. Ribet yak?