Wednesday, June 6, 2012

Playground!!!

"Jojo! Jangan naik sendirian. Nanti kamu kenapa-kenapa!" ...
"Mama! Jojo gak usah dipegangi, Jojo bisa sendiri kok!"

Setidaknya itu cuplikan dari apa yang saya dengar siang ini saat saya melihat seorang ibu berusaha melarang anaknya untuk naik eskalator sendirian.

Si kecil Jojo merasa tidak ada yang salah dengan naik eskalator sendiri sedangkan sang ibu merasa khawatir kalau si kecil Jojo akan terluka atau sesuatu yang buruk akan terjadi padanya ketika si kecil Jojo naik sendirian ke eskalator itu. Kita tahu banyak anak yang harus diamputasi tangan dan kakinya karena terjepit eskalator, bukan?

Sadar tidak sadar, tidak ada dari kita yang suka dikekang. Kita tidak suka dibatasi. Bahkan pembatasan BBM bersubsidi toh, menimbulkan permasalahan yang kian pelik, bukan? Tetapi suka tidak suka, selalu ada pembatasan dalam hidup kita. Tanpa sadar, ada pihak-pihak yang membatasi kita. Pihak-pihak tersebut memberikan batas yang tidak terlihat yang tidak bisa kita lewati.

Saya mengerti kita hidup di budaya yang membebaskan segalanya saat ini. Kita hidup di budaya dimana para pria dan wanita merasa bebas meniduri siapa pun yang mereka mau selama mereka sama-sama mau. Kita hidup di budaya kita bebas menyelingkuhi siapa pun asalkan tidak ketahuan dan apabila ketahuan, maka resiko tanggung sendiri. Kita hidup di budaya dimana kita bebas mengekspresikan semua emosi dan perasaan kita baik di dunia nyata dan dunia maya. Bahwasanya, kita bebas melakukan semua hal yang kita suka, asalkan hal tersebut tidak merugikan orang lain dan membuat kita bahagia.

Secara alamiah, kita merasa bahwa batasan adalah penghalang bagi kebebasan kita. Dan kebebasan kita adalah segalanya. Masuk akal, bukan? Dan saya yakin, sebagian besar dari Anda yang membaca tulisan ini pun setuju dengan kalimat frase di atas. Tetapi saya mendapat pengertian juga dari gereja tempat saya bernaung, @JPCC bahwa ternyata batasan juga adalah bentuk kebebasan kita.

Ketika saya menonton sebuah film komedi Thailand berjudul ATM, diceritakan bahwa ada seorang pria yang memelihara buaya dan dia mengurung buaya tersebut di dalam sebuah gubuk. Dia memberikan batasan kepada buaya tersebut agar tidak keluar dan tidak membahayakan orang lain.

Atau misalnya Anda memiliki anak balita dan Anda membiarkan mereka bermain di sebuah ruangan, tentu Anda akan memberikan sekat atau pembatas, bukan? Tujuannya bukan untuk melarang mereka bermain dengan ruangan yang lebih besar. Tetapi tujuannya adalah untuk mencegah sesuatu dari luar yang dapat melukai mereka. Entah misalnya, kucing peliharaan atau anjing peliharaan Anda melukai si kecil. Apakah sekat itu membatasi gerakan si balita kecil itu? Ya, benar. Tetapi di satu sisi, sekat tersebut juga membiarkan si balita bermain dengan ceria di area yang telah Anda siapkan untuk mereka, yang mana mungkin areanya tidak terlalu besar, mungkin.

Dengan cara yang sama, sekat atau pembatas memberikan kita kemampuan untuk bersyukur kepada Tuhan atas berkatNya dalam hidup kita. Seringkali kita berpikir bahwa Tuhan memberikan kita pembatas dalam hidup karena Tuhan tidak menginginkan kita bahagia. Dia ingin membatasi kebahagiaan kita dalam hidup. Padahal, sebaliknya, Dia memberikan kita kemampuan untuk menikmati apa yang telah Dia berikan kepada kita. Dia sebenarnya sedang meletakkan kita di area dimana kita bisa dengan puas bermain. (Sekali lagi, mungkin areanya tidak terlalu besar, mungkin)

Kita semua tahu bahwa di agama apa pun, hubungan seks sebelum pernikahan tidaklah diajarkan, tidak direstui dan dibenci. Kenapa Tuhan membenci hubungan seks sebelum pernikahan? Karena hal tersebut bukanlah area yang perlu Anda masuki sebelum Anda menikah. Anda memaksa memperlebar area bermain Anda dengan mencoba menerobos sekat atau pembatas yang Tuhan telah siapkan.

Permasalahannya, kebanyakan dari kita berpikir tentang pembatas dengan pemikiran seperti ini "Sejauh apa saya bisa mendorong sekat pembatas ini?" Ketimbang dengan pemikiran "Apa yang saya bisa lakukan di dalam sekat pembatas ini?" ... Pikiran yang pertama terfokus untuk seberapa kuat kita mendobrak pembatas itu dan merasakan sendiri akibatnya. Pikiran yang kedua terfokus kepada menikmati area yang telah diberikan kepada kita.

Kita mengklaim kita menginginkan kebebasan. Kita ingin melakukan apa yang kita mau. Tetapi menurut saya, kebebasan bukanlah melakukan segala hal yang Anda mau. Tetapi, kebebasan adalah melakukan apa yang Anda punya saat ini. Sadar tidak sadar, Tuhan telah memberikan kepada Anda begitu banyak hal dalam hidup Anda saat ini. Bahkan bisa jadi area bermain Anda saat ini lebih besar daripada area bermain orang lain. Satu hal yang pasti, Dia menaruh sekat itu agar Anda bisa menikmati apa yang Anda punya saat ini.

Apabila Tuhan merasa sekat yang Dia berikan terlalu sempit, Dia akan melihat itu dan memperbesar sekat itu agar Anda tidak terjepit sekat itu. Agar Anda bisa bergerak bebas di area bermain itu. Agar Anda bisa menikmati mainan-mainan yang telah Dia taruh dalam hidup Anda.

Sekat pembatas adalah sebuah berkat, karena bukankah prinsipnya, apa yang bernilai untuk kita, kita lindungi?

Anak bayi kita bernilai bagi kita, oleh karena itu kita menaruh mereka di boks tidur.
Pakaian kita bernilai bagi kita, oleh karena itu kita menaruh mereka di lemari.
Mobil kita bernilai bagi kita, oleh karena itu kita memarkir mobil kita di garasi.
Pekerjaan kita bernilai bagi kita, oleh karena itu kita memacu diri kita berkarir di dalamnya.
Apa pun yang Anda miliki saat ini, semua berasal dari Tuhan.

Jadi, berhenti mendobrak sekat pembatas itu.
Berhenti menatap dengan benci sekat pembatas itu.
Berhenti membanding-bandingkan besarnya area bermain Anda dengan area orang lain.
Berhenti merusak sekat pembatas itu. Anda tidak akan tahu bahaya apa yang ada di luar sana.

Sebaliknya lakukan apa yang Tuhan inginkan untuk Anda setelah Dia menaruh sekat itu untuk Anda, yakni : Mulailah bermain di area bermain Anda yang telah Tuhan siapkan untuk Anda. Bemainlah dengan apa yang Anda miliki yang asalnya dari Tuhan.

No comments:

Post a Comment