Seorang pria berjalan bertatih-tatih saat mendekati antrian, dan tanpa disangka-tanpa diduga dia menyelip beberapa orang. Hap! Masuklah dia ke dalam antrian untuk mendapatkan antrian tiket bioskop yang penuh sesak itu dengan muka tidak bersalah. ~Bakaar!!!
Antri. Satu kalimat yang simpel, namun banyak orang tidak mengerti artinya. Tahukah Anda bahwa antri adalah budaya masyarakat yang mencerminkan intelektual, sikap dan juga budaya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut?
Antri. Satu kalimat yang simpel, namun banyak orang tidak mengerti artinya. Tahukah Anda bahwa antri adalah budaya masyarakat yang mencerminkan intelektual, sikap dan juga budaya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut? Penduduk Indonesia dalam hal ini adalah bangsa yang sangat payah dalam hal mengantri. Ambil contoh paling mudah, jarang kita lihat kendaraan bermotor yang mau berhenti di belakang garis stop saat menunggu di lampu merah. Justru kebalikannya, apabila ada kendaraan yang mematuhi peraturan dengan berhenti di belakang garis stop, kendaraan itu diklakson-klakson oleh kendaraan dibelakangnya menyuruhnya untuk maju. Dimana budaya antri kita? Mungkin budaya antri sedang mengumpat ketakutan di belakang temannya yang bernama buru-buru.
Budaya masyarakat kita adalah ingin dilayani
Akibatnya, jarang sekali di antara mereka yang mau mengantri. Semua orang ingin dilayani meski mereka yang salah. Cukup Berbeda dengan sikap dan budaya orang asing yang terbiasa mengantri di luar negeri. Apabila anda pernah bepergian ke luar negeri melalui terminal F di bandara, Anda akan mengerti maksud saya, dimana anda bisa melihat banyak orang yang stress menghadapi antrian panjang dan berkelok-kelok seperti ular untuk check-in. Kenapa? karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan orang Indonesia untuk datang mepet waktu dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri. Beruntunglah kalau kita memiliki waktu boarding yang yang masih cukup lama.
Budaya masyarakat kita adalah ingin dilayani
Akibatnya, jarang sekali di antara mereka yang mau mengantri. Semua orang ingin dilayani meski mereka yang salah. Cukup Berbeda dengan sikap dan budaya orang asing yang terbiasa mengantri di luar negeri. Apabila anda pernah bepergian ke luar negeri melalui terminal F di bandara, Anda akan mengerti maksud saya, dimana anda bisa melihat banyak orang yang stress menghadapi antrian panjang dan berkelok-kelok seperti ular untuk check-in. Kenapa? karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan orang Indonesia untuk datang mepet waktu dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri. Beruntunglah kalau kita memiliki waktu boarding yang yang masih cukup lama.
Tapi kalau kita memiliki waktu boarding yang sempit, antrian berkelok-kelok ini pasti membuat kita stress dan panik juga, kenapa? Soalnya setiap orang yang memiliki tujuan yang berebda-beda dan waktu boarding yang berbeda-beda berada dalam satu garis antrian yang sama. Penumpang yang panik adalah orang yang sebentar lagi mau boarding, tetapi orang-orang yang berada di depannya adalah orang-orang yang memiliki waktu boarding yang masih lama. (Kita tidak bisa mengetahui orang di depan kita memiliki waktu boarding yang sama dengan kita atau tidak, bukan?)
Masalah terpecahkan? Err...
Memang salah kita sendiri kalau kita datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya kita sudah HARUS check-in MINIMAL 1 jam sebelum waktu boarding. Namun kebiasaan masyarakat kita adalah kita senang datang untuk check-in setengah jam atau seperempat jam sebelum waktu boarding. Atau kalaupun bukan masalah kebiasaan, keterlambatan terjadi karena alasan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Akibatnya apa? Para penumpang yang telat ini biasanya mulai kesal dan marah karena antriannya di depannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas bandara mulai panik dan membuka satu antrian baru lagi untuk mereka yang datang terlambat. Keputusan yang tepat? Terdengar demikian. Masalah penumpang yang hampir telat ini terpecahkan karena mereka puas bisa terbang tepat waktu!
Namun, bagaimana dengan mereka yang telah mengantri secara tertib? Apakah mereka tidak kesal diperlakukan seperti itu? Berarti lebih baik menjadi si orang yang terlambat karena pada akhirnya mereka mendapatkan perlakuan yang lebih "spesial" dengan langsung dibukakan-nya line tersendiri. Orang-orang yang telah mengantri secara tertib ini tidak diperlakukan secara adil padahal mereka berusaha menepati ketentuan dan budaya antri yang ada. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tetapi ternyata prioritas diberikan kepada orang yang datang telat. Kenyataannya, penumpang yang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu diberikan 'prioritas' untuk memotong antrian.
Memang salah kita sendiri kalau kita datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya kita sudah HARUS check-in MINIMAL 1 jam sebelum waktu boarding. Namun kebiasaan masyarakat kita adalah kita senang datang untuk check-in setengah jam atau seperempat jam sebelum waktu boarding. Atau kalaupun bukan masalah kebiasaan, keterlambatan terjadi karena alasan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Akibatnya apa? Para penumpang yang telat ini biasanya mulai kesal dan marah karena antriannya di depannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas bandara mulai panik dan membuka satu antrian baru lagi untuk mereka yang datang terlambat. Keputusan yang tepat? Terdengar demikian. Masalah penumpang yang hampir telat ini terpecahkan karena mereka puas bisa terbang tepat waktu!
Namun, bagaimana dengan mereka yang telah mengantri secara tertib? Apakah mereka tidak kesal diperlakukan seperti itu? Berarti lebih baik menjadi si orang yang terlambat karena pada akhirnya mereka mendapatkan perlakuan yang lebih "spesial" dengan langsung dibukakan-nya line tersendiri. Orang-orang yang telah mengantri secara tertib ini tidak diperlakukan secara adil padahal mereka berusaha menepati ketentuan dan budaya antri yang ada. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tetapi ternyata prioritas diberikan kepada orang yang datang telat. Kenyataannya, penumpang yang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu diberikan 'prioritas' untuk memotong antrian.
Budaya oh budaya
Kebanyakan orang Indonesia tidak mau mengantri, karena masalah kebudayaan jam karet dan juga tidak ada sistem yang baik untuk mengantri, walaupun dari hati nurani kita, kita tahu kita harus mengantri, namun berapa kali kita melihat ada saja orang yang tidak tahu malu memotong antrian dengan memasang wajah tidak bersalah? Antri adalah disiplin ilmu tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian berkelok-kelok seperti ular memiliki kelebihan dan juga kekurangan sendiri. Kelebihannya (dalam antrian ular), orang yang mengantri akan teratur dengan sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular membuat antrian seolah tidak panjang. Hal ini tentu berbeda dengan antrian lurus yang membuat barisnya terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian panjang, orang yang berada didalam antrian yang lambat bergerak biasanya menjadi tidak puas.
Namun demikian, antrian yang dibuat berkelok-kelok seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua memiliki waktu kepergian yang berbeda-beda, akibatnya sistem antrian menjadi tidak berguna. Mengelola sebuah antrian memang sebuah hal yang kompleks. Semakin banyak pelanggan yang datang, maka sistem antrian harus lebih baik. Bayangkan misalnya Telkomsel yang memiliki 75 juta pelanggan harus menghadapi misalkan komplen 50% dari 75 juta itu dalam satu hari dan harus dilakukan secara face to face. Bayangkan berapa panjang antriannya? Belum petugas customer service selesai dengan 1 konsumen, ribuan konsumen baru datang mengantri.
Kebanyakan orang Indonesia tidak mau mengantri, karena masalah kebudayaan jam karet dan juga tidak ada sistem yang baik untuk mengantri, walaupun dari hati nurani kita, kita tahu kita harus mengantri, namun berapa kali kita melihat ada saja orang yang tidak tahu malu memotong antrian dengan memasang wajah tidak bersalah? Antri adalah disiplin ilmu tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian berkelok-kelok seperti ular memiliki kelebihan dan juga kekurangan sendiri. Kelebihannya (dalam antrian ular), orang yang mengantri akan teratur dengan sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular membuat antrian seolah tidak panjang. Hal ini tentu berbeda dengan antrian lurus yang membuat barisnya terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian panjang, orang yang berada didalam antrian yang lambat bergerak biasanya menjadi tidak puas.
Namun demikian, antrian yang dibuat berkelok-kelok seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua memiliki waktu kepergian yang berbeda-beda, akibatnya sistem antrian menjadi tidak berguna. Mengelola sebuah antrian memang sebuah hal yang kompleks. Semakin banyak pelanggan yang datang, maka sistem antrian harus lebih baik. Bayangkan misalnya Telkomsel yang memiliki 75 juta pelanggan harus menghadapi misalkan komplen 50% dari 75 juta itu dalam satu hari dan harus dilakukan secara face to face. Bayangkan berapa panjang antriannya? Belum petugas customer service selesai dengan 1 konsumen, ribuan konsumen baru datang mengantri.
Bank Cape Antri
Ambil contoh bank BCA, saking terlalu banyaknya konsumen yang menggunakan produk BCA ini, antrian di bank BCA hampir selalu penuh setiap harinya. Saya sendiri pernah mengantri hampir selama 2 jam hanya untuk menyetor uang. Sehingga saya akhirnya mencintai untuk menggunakan automatic deposit machine yang biasanya ada di gerai-gerai ATM BCA yang sialnya, entah kenapa mesin ini seringkali rusak. Dan kemudian membayangkan saya harus berada didalam antrian yang panjang saja membuat saya mengurungkan niat untuk mengantri. Sehingga saya cukup setuju dengan guyonan BCA adalah "Bank Cape Antri".
Oleh karena itu, sekarang ini ada banyak fasilitas-fasilitas umum, yang pada umumnya bank menggunakan mesin kinetic yang bisa mengatur antrian pelanggan berdasarkan kebutuhan. Mereka yang perlu mendapatkan quick service mendapatkan nomor antrian berbeda dengan mereka yang tergolong normal service. Mesin ini juga bisa menghitung estimasi waktu Anda untuk mengantri. Pada kondisi dimana Anda memiliki banyak segmen antrian maka penggunaan mesin atau informasi teknologi adalah sebuah hal yang sudah lazim untuk digunakan. Cara lainnya adalah dengan membuka atau menambah jenis saluran pelayanan. Percayalah, sebaik apapun jenis antrian yang Anda buat, pasti akan tetap menimbulkan ketidakpuasan, kenapa? Karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau mengantri, semua ingin dilayani. Beruntung kita sekarang dipenuhi oleh barang-barang elektronik yang bisa membantu menghilangkan kebosanan seperti handphone, iPod, Blackberry, video games dan lainnya. Namun kesenangan ini juga bisa berakhir ketika orang tersebut menyadari bahwa antrian didepannya tidak juga bergerak.
Ambil contoh bank BCA, saking terlalu banyaknya konsumen yang menggunakan produk BCA ini, antrian di bank BCA hampir selalu penuh setiap harinya. Saya sendiri pernah mengantri hampir selama 2 jam hanya untuk menyetor uang. Sehingga saya akhirnya mencintai untuk menggunakan automatic deposit machine yang biasanya ada di gerai-gerai ATM BCA yang sialnya, entah kenapa mesin ini seringkali rusak. Dan kemudian membayangkan saya harus berada didalam antrian yang panjang saja membuat saya mengurungkan niat untuk mengantri. Sehingga saya cukup setuju dengan guyonan BCA adalah "Bank Cape Antri".
Oleh karena itu, sekarang ini ada banyak fasilitas-fasilitas umum, yang pada umumnya bank menggunakan mesin kinetic yang bisa mengatur antrian pelanggan berdasarkan kebutuhan. Mereka yang perlu mendapatkan quick service mendapatkan nomor antrian berbeda dengan mereka yang tergolong normal service. Mesin ini juga bisa menghitung estimasi waktu Anda untuk mengantri. Pada kondisi dimana Anda memiliki banyak segmen antrian maka penggunaan mesin atau informasi teknologi adalah sebuah hal yang sudah lazim untuk digunakan. Cara lainnya adalah dengan membuka atau menambah jenis saluran pelayanan. Percayalah, sebaik apapun jenis antrian yang Anda buat, pasti akan tetap menimbulkan ketidakpuasan, kenapa? Karena pada dasarnya tidak ada orang yang mau mengantri, semua ingin dilayani. Beruntung kita sekarang dipenuhi oleh barang-barang elektronik yang bisa membantu menghilangkan kebosanan seperti handphone, iPod, Blackberry, video games dan lainnya. Namun kesenangan ini juga bisa berakhir ketika orang tersebut menyadari bahwa antrian didepannya tidak juga bergerak.
Kudu Fish to Fish (face to face)
Saya pun kaget setengah mati saat mau mengantri film 2012 yang fenomenal itu. Saya sudah tidak lagi mengerti jenis dan laju antriannya. Kenapa? Karena saking terlalu penuhnya orang yang mau menonton film itu, antriannya pun sudah tidak jelas apakah berkelok-kelok atau lurus atau zig-zag atau malah jangan-jangan kurva? Diperlukan saluran pelayanan non fisik yang personal dan juga relatif murah melalui handphone, website, mesin dan sejenisnya agar pelanggan bebas menentukan kapan harus mendapatkan pelayanan dan tidak tergantung oleh orang yang berada didepan mereka. Masalahnya adalah, orang-orang Indonesia masih belum merasa "sreg" kalau tidak datang ke layanan fisik dan bertatap muka.
Tapi antrian fisik sebenarnya bisa menjadi hukuman bagi pelanggan bagi pelanggan yang tidak pernah memakai rencana atau tidak mau memanfaatkan saluran lain yang lebih murah karena lama kelamaan mereka akan merasa tidak nyaman dan datang tepat waktu. Atau kalau tidak, pada akhirnya mereka akan menggunakan internet atau telepon untuk mendapatkan pelayanan yang mereka mau. Misalkan sekarang XXI sudah menerapkan sistem M-Tix untuk mereka yang malas datang ke bioskop untuk mengantri. Ambil contoh pemutaran perdana film Twilight : yang diadakan di XXI EX. Dari cerita teman saya yang ikut mengantri, antriannya sangatlah panjang dan berdesakan, saya tidak mau membayangkan kalau saya harus berada dalam antrian film itu. (huff, saya hanya bersyukur saya bukanlah penggemar film saga Twilight itu).
Contoh lainnya yang tragis menurut saya adalah antrian yang menimbulkan korban jiwa karena pengambilan sembako atau daging kurban yang saya sendiri sudah tidak bisa berkomentar banyak soal sistem pengantriannya. Semua kembali ke sistem pengantrian, budaya dan mental masyarakat kita yang tidak mau mengantri. Saya berharap Anda yang membaca tulisan ini, setidaknya tergugah untuk mulai melakukan hal simpel namun penting yakni bernama antri ini.
Saya pun kaget setengah mati saat mau mengantri film 2012 yang fenomenal itu. Saya sudah tidak lagi mengerti jenis dan laju antriannya. Kenapa? Karena saking terlalu penuhnya orang yang mau menonton film itu, antriannya pun sudah tidak jelas apakah berkelok-kelok atau lurus atau zig-zag atau malah jangan-jangan kurva? Diperlukan saluran pelayanan non fisik yang personal dan juga relatif murah melalui handphone, website, mesin dan sejenisnya agar pelanggan bebas menentukan kapan harus mendapatkan pelayanan dan tidak tergantung oleh orang yang berada didepan mereka. Masalahnya adalah, orang-orang Indonesia masih belum merasa "sreg" kalau tidak datang ke layanan fisik dan bertatap muka.
Tapi antrian fisik sebenarnya bisa menjadi hukuman bagi pelanggan bagi pelanggan yang tidak pernah memakai rencana atau tidak mau memanfaatkan saluran lain yang lebih murah karena lama kelamaan mereka akan merasa tidak nyaman dan datang tepat waktu. Atau kalau tidak, pada akhirnya mereka akan menggunakan internet atau telepon untuk mendapatkan pelayanan yang mereka mau. Misalkan sekarang XXI sudah menerapkan sistem M-Tix untuk mereka yang malas datang ke bioskop untuk mengantri. Ambil contoh pemutaran perdana film Twilight : yang diadakan di XXI EX. Dari cerita teman saya yang ikut mengantri, antriannya sangatlah panjang dan berdesakan, saya tidak mau membayangkan kalau saya harus berada dalam antrian film itu. (huff, saya hanya bersyukur saya bukanlah penggemar film saga Twilight itu).
Contoh lainnya yang tragis menurut saya adalah antrian yang menimbulkan korban jiwa karena pengambilan sembako atau daging kurban yang saya sendiri sudah tidak bisa berkomentar banyak soal sistem pengantriannya. Semua kembali ke sistem pengantrian, budaya dan mental masyarakat kita yang tidak mau mengantri. Saya berharap Anda yang membaca tulisan ini, setidaknya tergugah untuk mulai melakukan hal simpel namun penting yakni bernama antri ini.
No comments:
Post a Comment