Sometimes it takes a natural disaster to reveal a social disaster. ~ Jim Wallis
Apabila saya mendengar bahwa Ujian Nasional (UN) dilaksanakan, jujur, saya bersyukur masa-masa sekolah saya tidak ada ujian semacam itu. Menurut saya pribadi, UN adalah sesuatu yang sangat tidak pas untuk dijadikan satu-satunya tolak ukur kelulusan siswa. Entah apa yang ada di pemikiran pemerintah ketika mereka mengajukan bahwa UN akan tetap digunakan sebagai faktor kelulusan siswa padahal sudah begitu banyak pihak yang menentang dan hasilnya pun tidak memuaskan karena UN yang dilakukan di 11 provinsi dilakukan oleh amatiran.
Kalau negara lain sibuk membuat robot, negara Indonesia sudah membuat 'robot' secara harafiah karena gaya pendidikan negara kita tidak mengembangkan sisi manusiawi. Entah sampai kapan pemerintah amatiran ini akan terus menganut sistem UN seperti ini. Untuk saya, siswa dianggap tidak lebih dari sebuah produk dan UN adalah tes dimana produk lulus sebagai produk bagus atau produk yang cacat. Karena kinerja lembaga pendidikan diukur dari keberhasilan siswanya pada ujian akhir, mereka lebih serius dan mementingkan mewarnai pendidikan untuk mencapai ukuran keberhasilan yang digunakan UN. Padahal, seperti yang saya tulis diatas, UN hanya mencetak generasi robot. Yaitu generasi yang hanya mampu berpikir sederhana dan mengandalkan kemampuan mengingat saja.
Karena kita mencetak generasi robot, lupakan semua elemen penting yang seharusnya diajarkan di sekolah seperti kemampuan bernalar dan berpikir secara kompleks, rasa ingin tahu, berpikir kritis, bersikap kreatif, kejujuran, sikap adil dan sportif, kemampuan komunikasi. Lupakan semua itu. Yang penting adalah bagaimana mendapatkan nilai agar lulus di UN. Tidakkah pemerintah sadar bahwa sistem ini adalah cikal bakal rusaknya generasi muda di Indonesia? Tidakkah pemerintah sadar bahwa yang mereka cetak hanyalah generasi yang hanya mampu melaksanakan pekerjaan rutin, lemah nalar, minim kreativitas dan kurang komunikatif yang berakhir pada ketidakmampuan karakter generasi tersebut untuk bertumbuh?
Pada tahun 2045, dimana Indonesia akan genap berusia 100 tahun, tantangannya akan semakin besar. Bisa jadi sumber energi minyak sudah habis, lahan pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan kita yang mengakibatkan ketergantungan pada impor semakin tinggi. Jadi, apakah yang bisa diberikan oleh sistem pendidikkan saat ini untuk mampu menghadapai tantangan di saat 2045 nanti? Apa yang bisa diberikan oleh generasi robot mendatang kalau mereka hanya dicekoki oleh paradigma pembelajaran tahun 1900-an misalnya, padahal daya saing, keadaan, situasi, tantangannya sudah berbeda sekali.
Yang paling penting saat ini adalah gilanya dan maraknya serangan evolusi informasi. Revolusi informasi ini merubah cara pandang kita tentang ruang dan waktu. Revolusi informasi memungkinkan penyebaran informasi secara besar-besaran. Kita saat ini berada pada era Facebook, Twitter, Tumblr, Wikipedia, Google, e-library, e-book, Skype dan lainnya. Bayangkan seperti apa kira-kira era di masa depan 20-30 tahun mendatang? Saat ini saja siswa-siswa kita sudah memiliki smartphone dan tablet, yang akhirnya mengakibatkan sistem pembelajaran pendidikan kita yang hanya sebatas mengingat, tidak lagi relevan.
Saya yakin dalam waktu yang tidak lama lagi, buku akan digantikan oleh tablet. Karena tablet dapat menyajikan informasi yang jauh lebih kaya ketimbang buku teks. Saya ingat saat saya belajar tentang tata surya, mulai dari Matahari hingga planet ke 9, Pluto. Yang saya lakukan hanyalah menghafal dan mengingat. Yang perlu saya lakukan hanyalah mengeluarkan semua yang telah saya ingat saat ujian, namun mengingat tidaklah sama dengan mengerti dan memperhatikan. Dengan tablet, siswa dapat melihat animasi pergerakan planet, melihat posisi planet pada waktu tertentu, mengamati bentuk planet tertentu secara 360 derajat, atau mungkin mempelajari sistem tata surya lainnya.
Benar, bahwa kita membutuhkan sistem dan kurikulum baru untuk adik-adik kita yang masih bersekolah, tetapi harusnya kurikulum itu mempersiapkan siswa menghadapi tantangan yang lebih berat di masa depan dengan cara menciptakan sistem pembelajaran yang menarik, serta memandang dan memperlakukan siswa dengan keunikan dan minatnya masing-masing. Serta kurikulum tersebut dapat beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi saat ini. Tidak mungkin siswa diajarkan sistem komputer MS-DOS kalau sekarang jaman sudah menggunakan Windows 8. Jadi, apa yang sudah dipersiapkan oleh pemerintah untuk bersaing di globalisasi. Mungkin pemerintah lupa bahwa globalisasi artinya adalah hadirnya peluang untuk siswa berkompetisi tidak hanya di bagian domestik, tetapi juga internasional. Tidak heran kalau negara kita adalah negara pencetak TKI, karena buruknya sistem pendidikan kita yang tidak berubah.
Sekali lagi, saya tidak tahu apa yang ada di pemikiran siapa pun pihak amatiran yang menciptakan, menyiapkan dan terus menggunakan UN sebagai patokan kelulusan. Mungkin mereka-mereka ini tidak memiliki anak yang bersekolah sehingga mereka tidak mengerti bahwa sebagai siswa, carut-marut sistem UN ini membuat karakter anak tidak dewasa. Belum lagi sistem ini mengajarkan siswa menjadi tidak rasional karena beberapa hari menjelang UN, seakan dunia akan kiamat. Acara doa digelar besar-besaran, kursus dan les privat melambung naik jam belajarnya sehingga membuat siswa kelelahan berpikir, belum lagi mental yang seakan terus menerus diteror karena ketakutan tidak lulus UN karena siswa dikawal polisi saat ujian, Orang tua pun tidak kalah stressnya karena mereka harus menyetor uang sekolah berikutnya, padahal belum tentu anaknya lulus UN. Dan hebatnya, UN pun bisa diundur karena ke-amatir-an pihak penyelenggara UN.
Sekali lagi, saya bersyukur saat saya bersekolah, sistem UN tidak saya rasakan. Namun, ke depannya, apabila saya memiliki anak, saya tidak mau anak saya hanya dicetak sebagai generasi robot oleh pemerintah. Apabila benar begitu faktanya, saya berharap kepada siapa pun pelaku Bom Boston, lebih baik Anda mengebom kediaman siapa pun dalang di balik kebodohan pengadaan UN ini ketimbang mengebom ratusan orang tidak bersalah yang sedang ingin menikmati pertandingan olahraga di Boston.
No comments:
Post a Comment