"Kita semua mungkin setuju apabila kita menyebut Jakarta adalah sebuah kota besar. Sebuah kota metropolitan yang lengkap dengan segala kemewahan dan kemegahannya."

Kota yang sudah berusia lebih dari 400 tahun ini tampaknya memiliki semuanya. Mulai dari makanan, gaya hidup, fesyen, tempat-tempat nongkrong dan lainnya.
Jakarta memiliki daya tarik untuk menarik siapa pun datang mengunjunginya dan tinggal di dalamnya. Beberapa waktu lalu, muncul wacana bahwa Jakarta tidaklah lagi memadai untuk disebut ibu kota Indonesia.
Terlalu banyak masalah pelik yang muncul di Jakarta dan tidak kunjung terselesaikan masalahnya sehingga muncul wacana untuk 'memindahkan' ibukota ini ke beberapa kota besar di Indonesia seperti ke Kalimantan atau lainnya.
Kampung yang tidak kampungan
Saya sendiri setuju untuk hal ini. Di mata saya pribadi, Jakarta sudah tidak lagi cocok dan nyaman serta aman untuk dijadikan ibukota negara Indonesia. Untuk saya pribadi, Jakarta bukanlah sebuah kota besar melainkan sebuah KAMPUNG BESAR. Kok bisa? Karena ada begitu banyak pendatang yang datang ke Jakarta. Notabene sebagian besar mayoritasnya adalah orang kampung yang berusaha mencari sesuap nasi di Jakarta atau mencoba merubah nasib mereka di Jakarta.
Maaf apabila mungkin tidaklah enak didengar ketika saya menggunakan kata 'kampung'. Apabila Anda tidak setuju dengan kata 'kampung' yang saya gunakan, tidak apa, meskipun Anda mungkin akan setuju dengan saya saat Anda menengok betapa lengangnya Jakarta saat lebaran tiba. Yang berarti sebagian besar penduduk Jakarta hanya sedikit. Sisanya 'pulang kampung' ke kampungnya masing-masing. Berarti benar bahwa sebagian besar penduduk Jakarta adalah benar orang kampung.
Saya tidak mendiskreditkan pendatang atau orang yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik di kota besar. Tetapi tolong bedakan antara 'kampung' dengan 'kampungan'. Kampungan adalah cara berpikir, sikap dan ego dan tidak mau berubah dan tidak bisa dan tidak mau diatur. Benar, bahwa ada ada sebagian orang kampung yang saya temui tidaklah kampungan. Namun, sialnya sebagian besar orang kampung yang datang ke Jakarta ternyata 'kampungan'.
Gesekan sosial
Menurut saya, Jakarta dirusak oleh orang kampung yang kampungan ini. Mereka membawa serta sikap dan cara pikir mereka yang masih tertanam di desa atau kampung ketika mereka datang ke ibukota. Mereka tidak mengerti (dan tidak pernah bisa mengerti), bahwa ketika mereka datang ke ibukota, berarti mereka seharusnya meng-upgrade kualitas hidup mereka untuk merubah status sosial mereka dari orang kampung ke orang kota. Jadi seharusnya cara pikir mereka juga berubah menjadi lebih baik dan siap untuk memasuki sebuah 'kota'.
Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Justru orang-orang kampung ini berusaha merubah Jakarta yang notabene sudah menjadi sebuah kota menjadi kampung. Mereka membawa kebiasaan buruk mereka di kampung tanpa mereka sadari mereka tinggal di kota. Saya jadi ingat saat saya makan di salah satu restoran salah satu mal di Jakarta, ada sebuah keluarga yang ikut makan disana. Dan mereka dengan seenak jidatnya membuang tissue ke lantai -baik sang anak, sang ibu dan sang anak- dan ketika seorang pelayan menegor bapak itu untuk tidak sembarangan membuang sampah sembarangan di restoran itu, sang bapak dengan bangga dan kampungannya berkata kepada sang pelayan "Halah! Di kampung saya aja yang restorannya lebih bagus gapapa, kok buang tissue begini."
Tidakkah sang bapak itu sadar bahwa ia dan keluarganya tidak sedang berada di kampung mereka? Tidakkah mereka sadar bahwa mereka sedang berada di kota bernama Jakarta yang juga memiliki aturan dan tata krama sendiri? Apabila mereka tidak bisa mengikuti irama dan peraturan yang ada dan tidak mau merubah kebiasaan kampungan mereka, saran saya lebih baik jangan datang ke kota, cukuplah Anda di kampung Anda sendiri.
Konflik tetaplah konflik
Contoh diatas hanyalah contoh kecil. Pernahkah Anda mengetahui ada berapa banyak macam orang kampung yang datang ke Jakarta? Bisa jadi semua suku dan ras yang ada di Indonesia ada di Jakarta. Apa yang terjadi? Berikut ini yang terjadi :
Suku A ingin menjadikan Jakarta sesuai persis dengan kemauan suku A.
Suku B ingin menjadikan Jakarta sesuai persis dengan kemauan suku B.
Suku C ingin menjadikan Jakarta sesuai persis dengan kemauan suku C.
Penganut agama D ingin menjadikan Jakarta hanya memiliki agama D.
Penganut agama E ingin menjadikan Jakarta hanya memiliki agama E.
Ketika ada pihak yang tidak bisa menerima perbedaan, tindakan anarkislah yang terjadi. Anda bisa dengan mudah menemukan etnis A tawuran dengan etnis B, si agama A membakar tempat ibadah agama C, ras X membantai ras Y di jakarta. Penyebabnya? Simpel. Semata-mata karena pihak-pihak ini tidak bisa menerima perbedaan dan selalu melihat dari kacamata curiga.
Contoh-contoh lain
Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang selalu melakukan rusuh saat pertandingan sepak bola. Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang dengan bangganya menaiki atap bus beramai-ramai.
Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang meledakkan petasan saat musim puasa entah siang entah malam tanpa mau berpikir bahwa ada orang-orang yang tidak ikut berpuasa dan juga membutuhkan istirahat.
Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang naik keatas kereta tanpa mau berpikir bahwa hal tersebut membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang tidak mau diatur saat berlalu lintas. Untuk hal ini saya paling kesal dengan motor yang tidak menyalakan lampu saat malam hari. Tidakkah mereka tahu dengan tidak menyalakan lampu motor mereka saat malam hari, resiko mereka tertabrak lebih besar. Namun sepertinya entah kenapa, untuk mereka, hal tersebut sangatlah keren dan macho.
Lihatlah betapa banyaknya orang 'kampungan' yang menggelar acara hajatan atau pernikahan hingga bisa-bisanya menutup jalanan dan membuat orang lain berputar-putar untuk bisa pulang. Saya sendiri pernah hampir tidak bisa pulang ke rumah karena ada beberapa hajatan yang berlangsung bersamaan yang mana semua jalan menuju rumah saya ditutup namun mujur ada satu hajatan yang akhirnya membuka jalan, entah apa jadinya kalau tidak.
Lihatlah betapa banyaknya orang kampungan yang bernaung diatas panji-panji agama dan ras serta suku. Ini menurut saya yang benar-benar kampungan. Mereka merusak, membunuh, merampas hak orang lain hanya karena membawa bendera-bendera keagamaan. Tidakkah mereka sadar bahwa di kota Jakarta dan bahkan di Indonesia, ada beberapa agama?
Ingat, yang namanya kota bukan kampung
Lihatlah rekan kerja Anda di kantor, bisa jadi Anda akan menemukan begitu banyak rekan Anda yang ternyata bukan berasal dari Jakarta. Bisa jadi mereka dari luar kota atau luar pulau. Pernahkah Anda bertanya kenapa mereka mau hidup di Jakarta? Jawaban standardnya, ya karena Jakarta memberikan segudang impian. Mereka merasa lebih berkembang di Jakarta. Mereka merasa lebih 'hidup' kalau tinggalnya di Jakarta?
Atau tidak usah terlalu jauh, apabila Anda tinggal di sebuah komplek perumahan. Anda akan dengan mudah menemui semacam perkampungan yang lokasinya berada di belakang komplek Anda atau berada tidak jauh dari lokasi komplek Anda. Atau ketika Anda mencari jalan tikus, bukan tidak mungkin, jalur yang Anda ambil akan melewati perkampungan dengan gang yang sempit, jalan rusak dan lainnya. Jadi, Jakarta itu sebenarnya bukan dipenuhi oleh mal atau gedung besar, tetapi oleh perkampungan. Dari lantai 43 kantor saya pun, saya bisa melihat ada perkampungan yang berada tepat di belakang kantor saya.
Susahnya jadi Jakarta
Untuk hal ini, seharusnya masing-masing daerah mengembangkan potensi daerahnya masing-masing agar beban Jakarta lebih ringan. Yang saya tahu, posisi tanah di Jakarta semakin tahun semakin ambles karena terlalu banyak beban yang ditanggungnya baik dari jumlah penduduk maupun bangunan. Saya bermimpi alangkah enaknya kalau para pendatang yang datang ke Jakarta tidaklah datang ke Jakarta, tetapi ikut membangun daerahnya masing-masing. Bukan tidak mungkin, keragaman budaya dan juga kreatifitas masing-masing daerah lebih terasa lagi.
Untuk mereka yang ingin datang ke Jakarta, sebaiknya mereka sudah tahu benar apa yang ingin mereka kerjakan, apa bekal yang mereka punya, sehingga pengangguran bisa lebih ditekan. Karena banyak orang yang datang ke Jakarta tanpa bekal sama sekali dan akhirnya mereka menjadi gelandangan, pengemis atau apapun yang akhirnya meningkatkan angka kriminalitas dan sialnya ketika mereka dipulangkan ke kampung asal mereka, mereka datang lagi ke Jakarta.
Parahnya ketika mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa apa-apa di Jakarta, mereka enggan pulang. Jadilah mereka menyerobot tanah untuk tetap bertahan hidup di kota. Kenapa mereka tidak pulang dan mencoba memulai dari awal kehidupan mereka di kampung mereka? Bukankah beban hidup mereka malahan seharusnya lebih 'murah' ketika mereka di kampung?
Tapi, nasi sudah berada di dalam dubur. Sudah begitu pelik permasalahan yang terjadi di Jakarta dari berbagai macam sisi. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengelus dada untuk setiap peristiwa, pertikaian dan perseteruan yang terjadi sambil berharap suatu hari nanti, Jakarta akan lebih baik ... Suatu hari nanti.
No comments:
Post a Comment